Problem pendidikan yang ada di indonisia adalah; bentuk pendidikan yang bersifat parsial, pragmatis, dalam banyak hal justru bersifat paradox . Parsial, karena pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan dan melupakan pendidikan ahlak dan moral. Hal tersebut menjadikan hasil dari pendidikan yang semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang trampil dan cerdas secara intelektual namun miskin dalam peringai, mental dan tingkah laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun rusak moral dan ahlaknya. Pendidikan yang demikian adalah agen untuk melayani kepentingan dan kebutuhan hidup yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakatnya industry oriented maka yang laku adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan tehnologi maka yang laris adalah fakultas tekhnik informatika dan lain sebagainya.
Bersifat praktis dan pragmatis, hal tersebut tercermin dalam orientasi pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam banyak hal sekolah sekolah didirikan dengan konsep siap pakai, siap kerja, siap latih dst... Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran ukuran yang sederhana, berapa lama kuliah dapat diselesaikan, IPK yang dapat dicapai. Kesuksesan sebuah lembaga pendidikan dilihat dari seberapa cepat anak didiknya diterima di lapangan kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Dan hal yang demikian bertolak belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam. dimana dimensi terpenting dari hidup manusia yang menjadi orientasinya, bagaimana pendidikan dapat memberikan pengaruh dalam jiwa peserta didik untuk mengembangkan manusia menjadi semakin bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, trampil dan lain sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak menyentuh aspek substansi atau yang hakiki dan inti tersebut, melainkan hanya pada kisaran kulit dan kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia.
Bersifat paradox, Pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di Indonesia sulit sekali menemukan seorang guru yang ideal, yang menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad Samir al-Munir dalam bukunya ketika menulis risalah untuk guru “kami meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan apa kata anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami. Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka".
Pendidikan sebagai proses peniruan tidak lagi dapat ditemui karena yang terjadi dilapangan adalah kebalikannya, guru tidak lagi menjadi uswah karena mereka hanya berfungsi mentransfer pengetahuan kepada peserta didik dan melupakan fungsinya sebagai pendidik. Banyak kasus amoral terjadi di Indonesia ini yang dilakukan oleh oknum guru. System pegawai negri umpamanya, menjadikan guru hanya mengejar gaji dan tidak memperdulikan lagi moral anak didiknya. Bila ditilik lebih lanjut sesungguhnya yang demikian adalah efek pemisahan antara Ilmu dan amal yang terjadi di negara sekuler. Bahwa bisa saja seseorang sangat intelek dan kaya keilmuan namun prilakunya tidak berkaitan dengan ilmu yang dimilikinya. Ilmu bagi mereka adalah veleu free (bebas nilai) tidak ada sangkut pautnya dengan prilaku sehari hari. Berbeda dengan konsep Islam, syarat seseorang disebut "Alim" apabila ia memiliki sifat wara’, dalam rijal hadist umpanya, seseorang baru diterima untuk mentransformasikan hadist (pengetahuan) jika ia dhobith, bias dipercaya dan adil, kepintaran saja tidak cukup ia juga harus berperingai baik, jika saja ia pernah berbohong sekali saja dalam hidupnya, maka hadits yang diriwayatkan di syah.
Maka jika kemudian pendidikan sebagai proses pembiasaan tidak lagi bisa kita temui dalam model sekolahan yang ada di Indonesia, hal tersebut sangat bisa dimaklumi. Bagaimana mungkin seorang guru yang dalam konsep mengajarnya hanya mengejar pelaksanaan tugas yang penting dapat gaji bisa berpikir membiasakan peserta didiknya untuk sholat ke mesjid setiap kali mendengar adzan, padahal pembiasaan adalah faktor terpenting untuk menciptakan moral atau akhlak. Anak yang terbiasa pergi ke mesjid setiap kali mendengar adzan akan merasa tidak enak apabila ada adzan kemudian tidak pergi ke mesjid, perasaan yang demikian akan terpatri dalam jiwa anak didik ketika ia telah terbiasa. Dan keterbiasaan itu perlu dilakukan dengan proses pembiasaan.
Problem yang paling mendasar dari Pendidikan yang ada di Indonesia adalah bahwa pendidikan menjadi alat mobilisasi social-ekonomi individu dan Negara. Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari kerihaan Allah. Muhammad abduh (teolog) dari Mesir mengkritik hasil-hasil negative dari tujuan pendidikan yang pragmatis, ia menyadari bahwa tujuan pendidikan itu bukan untuk mobilisasi social-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik, lebih lanjut ia menyatakan:
“Pendidikan ini disampaikan (imparted) sehingga murid bisa memperoleh gelar yang memungkinkannya memperoleh pekerjaan sebagai tenaga administrasi dalam sebuah departemen. Namun, hakekat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan (al-ta’lim wa al-tarbiyah) dan dengan menanamkan nilai-nilai yang luhur sehingga ia menjadi manusia yang saleh (rojulan shaalihan fi nafsihi), yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam instansi pemerintahan ataupun dalam instansi lainnya, tidak masuk ke kepala para guru dan orang-orang yang mengangkat guru-guru tersebut”
15 Jun 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mantab
BalasHapus