“Knowledge is power, but character is more” . Inilah statement yang membuat banyak orang pesimis akan pendidikan di Indonesia ini. sebab yang yang terjadi pada pendidikan di Indonesia adalah kebalikan dari statement diatas. Pendidikan kita cenderung untuk mengeksploitasi anak agar mampu bersaing dengan yang lainnya demi memperoleh pekerjaan yang ujung-ujungnya adalah “kesejahteraan di bidang ekonomi”, mendapatkan pekerjaan yang layak, menjadi orang yang kaya. Karena ukuran untuk mendapatkan pekerjaan adalah kepemilikan ijazah, sementara ijazah isinya adalah deretan angka yang diperoleh anak ketika menjawab soal ujian, maka jelaslah yang menjadi gol terbesar dalam pendidikan kita adalah otak. Orang tua akan malu apabila nilai matematika anaknya lima, atau enam. Segala cara dilakukan dengan mengkursuskan anak pada tempat-tempat kursus favorite, agar terhindar dari rasa malu akibat nilai jelek yang diperoleh anaknya. Ukuran suksesnya pendidikan hanya terpaku pada besar kecilnya nilai dalam sebuah ujian.
“Sekolah bla-bla menerima pendaftaran siswa-siswi baru, di jamin lulus 100% .. di jamin langsung di terima kerja di berbagai instansi pemerintahan” begitulah iklan sekolahan yang sering kita baca. Dari situ saja sudah bisa ditebak; bahwa orientasi sekolahan tersebut adalah menciptakan tenaga kerja. Anak dipacu demikian rupa untuk bisa melalui tahapan Ujian dengan berbagai upaya, mulai dari belajar bersama hingga do’a bersama, istighosah dan lain sebagainya, semua itu dilakukan dengan sebab satu hal, takut jika gagal dalam ujian, kegagalan dari ujian berarti kegagalan mendapatkan ijazah, dan kegagalan mendapatkan ijazah adalah kegagalan untuk berkompetisi dalam memperoleh pekerjaan sebagai pegawai. Maka jika kita telusuri sesungguhnya sekolah tidak beda dengan pabrik; bahan baku yang dikelolanya; manusia, hasil produksinya; Tenaga kerja.
Manusia disebut manusia bukan karena ia memiliki otak saja, melainkan ada demensi yang lainnya dimana dengannya manusia bisa dibedakan dengan mahluk yang lain. Di samping otak, ada hati dan jiwa. Pendidikan yang hanya terfokus pada penglolaan kemampuan otak saja akan gagal membangun seseorang menjadi manusia. Akibatnya banyak anak pintar lahir dari model pendidikan kita, tetapi akhlak dan charakternya tidak tumbuh, dan cendrung rusak. Maka sekolah yang baik adalah sekolahan yang berorientasi kepada aktualisasi anak didiknya. Mengelola seluruh demensi yang dimilik oleh seorang anak, ya otaknya, ya hatinya, ya jiwanya. Ketiga demensi itu harus dikelola secara seimbang agar tidak terjadi ketimpangan ketika anak harus bersosialisasi. Kemampuan anak dalam aktualisasi diri di tengah masyarakatnya terkait erat dengan kematangan secara akal, hati dan jiwa sekaligus. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pembentukan daya kognitif otak saja dan memalingkan dari affectif, psikomotorik, pengembangan spiritual, dan pengembangan emosional anak, adalah aborsi dalam pendidikan; memaksa anak untuk lahir sebelum waktunya.
“Early Ripe, Early Rot…” cepat masak, cepat busuk… mengingatkan kita agar tidak tergesa-gesa dalam membentuk anak untuk segera jadi, dan siap berkompetensi dalam hidup. Ada tren di masyarakat kita untuk sesegera mungkin melihat anaknya berprestasi. Sejak usia dini sudah dikenalkan dengan program-program pendidikan, dimana program-program itu telah menjajah jiwa anak yang bebas menjadi terikat, hingga waktu yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan jiwanya dengan bermain; terkorupsi oleh keinginan orang tua untuk melihat anaknya menjadi anaknya yang unggul. Sebut saja misalnya; tuntutan wali murid agar anaknya segera mampu membaca, telah menggiring guru-guru TK memaksa anak-anak untuk mampu membaca. “Pendidikan kita cendrung memperkosa dibanding membebaskan”.
Mengembalikan jiwa pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menjadikan manusia yang hatinya mencahaya dan pikirannya terang benderang “good and smart”. Dan hal itu mungkin dilakukan jika setiap guru yang ada memiliki pemahaman yang benar dengan konsep pendidikan. Karena ketidak mampuan guru/pendidik dalam menghadapi persoalan pendidikan, atau salah dalam memahami orientasi pendidikan, akan membawa anak didik dan orang tua murid salah juga dalam mengorientasikan hidupnya... Allahu A`lam.
12 Jun 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar