Sebenarnya tulisan ini pernah aku posting di website pribadi Rektor UIN MMI Malang yaitu Prof. DR. H. Imam Suprayogo untuk mengomentari tulisan beliau tgl 30 Mei 2009 tentang "Memahami Diri Sendiri". Tapi tidak ada salahnya aku posting ulang dalam blog pribadiku agar pembaca budiman yang tidak sempat membaca di blog rektor UIN Malang bisa membaca diblog calon rektor UIN Malang ini …
Salah satu tolak ukur keberhasilan seseorang menurut al-Qur`an adalah "amal sholeh", sejauh mana seseorang bisa berbuat, berkarya, bekerja, memberi manfaat dan memberi konstribusi untuk orang lain. Kata amal sholeh ini ditulis berulang-ulang dalam al-qur`an, kalimat yang disebut berulang-ulang dalam al-qur`an menunjukan bahwa hal itu sangat penting sekali untuk diperhatikan oleh manusia. Amal sholeh atau yang biasa kita sebut `berbuat baik` bisa lakukan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, kita beramal sholeh sesuai profesi kita masing-masing dan tidak harus dipublikasikan, artinya setiap amal perbuatan baik kita harus didasarkan pada hati yang ikhlas karena Allah SWT, kalau perlu harus disembunyikan tidak semata-mata ingin dipuja dipuji sana sini, tentu hal ini sangat berat karena banyak manusia sekarang ini yang mempunyai watak sebaliknya yaitu haus akan rasa pujian.
Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang seorang guru spiritual yang sekaligus seorang pelukis yang hidup dipinggiran kota, jauh dari sorotan publik, enggan dipuji, tapi amal kerjanya nyata untuk kemanusiaan, beliau berbuat baik sesuai dengan profesinya yaitu sebagai pelukis kaligrafi. Saat galerinya belum terbakar, ia melukis kaligrafi dan menyebut dirinya seniman merdeka. Terlalu banyak di Indonesia ini, orang yang masih disembunyikan oleh Allah SWT. Jika kemudian kita tidak kenal, sesungguhnya hal itu wajar. Ia jauh dari publisitas media, jauh dari riuh-rendahnya gemerlap dunia, jauh dari hiruk-pikuknya politik dan memang ia tidak sedia diekspos. “Orang akan kenal aku setelah aku mati” begitu katanya. Pada suatu hari beliau menjual lukisannya dengan harga tinggi, harga lukisan yang ia bandrol kisaran satu milyar hingga enam milyar. Tidak realistis.. ! Banyak orang berpikir begitu, tapi beliau menampik anggapan orang kalau harga lukisannya dijual terlalu tinggi, lalu beliau berkata, “ di dalam bumi Indonesia ini ada banyak kandungan benda yang dulupun orang berpikir tidak mungkin bisa dijual, sampai Amerika (Exxon Mobile misalnya) datang dan mengelola tanah itu, lalu laku dipasarkan, karena mereka mampu melakukannya dan kita tidak. Benda itu berupa; minyak, biji besi, timah, perak, emas dan hasil tambang lainnya .Hanya karena kita tidak tahu cara mengelolanya kemudian mengatakan tidak realistis, betapa piciknya kita. Apa saja yang ada di bawah bumi Allah ini semuanya mungkin, semuanya realistis, jangan tergesa-gesa untuk bilang realistis dan tidak realistis. Karena itu harga lukisan saya yang segitu saja bagi saya amatlah realistis… Saya tidak menjual lukisan saya kepada mereka yang tidak punya uang. Saya menjual lukisan itu kepada mereka yang bingung membelanjakan uangnya, karena berlebih...!” beliau tidak mengada-ada ternyata lukisan itu laku terjual dengan harga fantastis, dan sebagian besar uang hasil lukisan itu diinfaqkan ke pendidikan, pesantren, anak yatim, faqir miskin dan untuk kerja kemanusiaan, hingga musibah itu datang galerinya dibakar orang. Saat ini ia masih melukis, namun lebih banyak waktunya habis untuk kerja kemanusiaan. Ia melukis hati manusia dengan cinta, kanvasnya alam semesta, penikmatnya Allah Subhanahu Wata’ala.
Pada suatu malam dalam diskusi yang panjang aku terhentak dengan salah satu pernyataan beliau “ Kamu tau..! Surga itu tidak murah, ia harus dibeli dengan kerja nyata…! Tidak cukup kamu hanya mengumpulkan teori, mempelajari ilmu dan memenuhi kepalamu dengan ribuan buku. Itu hanya sekedar dongeng di kepala jika tidak kau ejawantahkan dalam bentuk karya nyata, melakukan perbuatan untuk kemaslahatan manusia. Allah tidak menilai seberapa ilmu yang telah engkau kuasai. Tapi Allah menghitung apa yang telah kau lakukan dengan hidupmu untuk kesejahteraan manusia. Jangan sempit dan terkotakan dengan ilmu kita sendiri. Yang ujung-ujungnya menjadi picik, sehingga tidak lahir perbuatan dari Ilmu itu, di Negeri ini terlalu banyak orang pintar, tapi mereka tidak berbuat apa-apa dan tidak membuahkan apa-apa dari ilmu itu. Berbuatlah! Berkaryalah! Bekerjalah! untuk kemanusian karena Allah sungguh sedang menyaksikan kita. Perbuatan yang akan menjadi tabungan kita kelak, ketika tiba saatnya menghadap keharibaanNYA. Jawaban atas pertanyaan “ Apa yang telah kau lakukan di dunia dengan hidup yang AKU anugrahkan kepadamu?” Bekerja, berbuat dan berkaryalah untuk orang lain; itulah yang Allah maksud dengan “wa `amilus sholihaati.” Begitulah beliau berceramah dengan nada agak tinggi dan suaranya bergetar penuh makna.
Beliau hidup dalam kesederhanaan, kesahajaan, rendah diri, prilakunya sopan, tutur katanyapun santun tidak pernah menyinggung perasaan orang, tidak adigang adigung adiguno meski ia bergelimang uang dari hasil penjualan lukisan kaligrafinya. Ia dirikan masjid, mushola, membuat sumur, menyembelih kurban, mengusap rambut anak yatim, bercengkrama bersama kaum dhuafa’ di pelosok-pelosok negri ini, melakukan perkerjaan medis, sunnatan masal, nikah masal, membagi uang dan lain sebagainya. Sebuah kerja nyata kemanusiaan yang sudah ia lakukan semenjak tujuh belas tahun silam. Jauh lebih lama dari Dompet Dhua’afanya Republika. Jauh lebih nyata dari apa yang dilakukan oleh lembaga pelatihan kecerdasan & spritual manapun. Subhanallah…
Mungkin ini yang dimaksud salah satu pintu untuk meraih kebahagian didunia & di akhirat yang telah digambarkan dalam tulisan sebelumnya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita ini.
5 Jun 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar