Dia datang dengan bekal ilmu segudang. Di dalamnya dia menyimpan setumpuk
rencana. Pada saat dia kembali ke Indonesia, angin politik tengah berubah.
Soeharto telah jatuh, reformasi tengah melanda negeri. Celi muda tentu bukan
yang dulu lagi. Delapan tahun menghabiskan masa studi di Amerika, Celi telah
berubah. Dia bukan lagi Celi sebagaimana kenangan para dosennya di UGM
seperti Arief Budiman dan Ashari Hadi. Dia juga bukan Celi yang begitu
bersemangat ingin memiliki buku Mao Ze Dong sehingga temannya memberi satu
kopian pada masa-masa sulit studi S1 nya di UGM pada tahun 80-an. Celi
adalah seorang mahasiswa sejati. Dia tahu betul apa artinya menjadi dewasa.
Baginya, tidak punya hati bila pada usia di bawah tiga puluh tidak menjadi
sosialis. Tetapi tidak punya otak bila usia sudah di atas kepala tiga tetapi
masih sosialis. Hidup perlu realistis. Di Ohio State University, Celi
menemukan jawabannya. Menjadi Liberal di tengah dunia yang unipolar ini
adalah satu-satunya pilihan. Untuk kenyangnya perut, untuk tentramnya hati
dan tentu saja untuk berkuasanya otak. Celi, mahasiswa Sosialis UGM, pulang
dari Amerika sebagai seorang neoliberal pro kapitalis.
Empat tahun sebelum mendirikan Freedom Institute, Celi telah memberikan
isyarat dari Amerika sana tentang bagaimana dia mengagumi pikiran Niccolo
Machiaveli lewat artikelnya di Kompas pada 6 Oktober 1997. Disitu Celi
menulis, "……Dengan kata lain, ajaran Machiavelli misalnya, Sang Penguasa,
dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas
haruslah dimengerti bukan sebagai "nasehat politik" dalam pengertian yang
umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak
semurni dunia mitologi surgawi jaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan,
sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi,
dan ketololan". Ya, 12 tahun yang silam, pada saat mematangkan konsep
neoliberalismenya, Celi memahami politik sebagai dunia kekuasaan yang yang
penuh intrik, kekejian, ambisi dan ketololan. Tentunya sebelum kembali ke
Indonesia, Celi telah menyiapkan diri untuk mengakali dunia kekuasaan yang
digambarkannya sesuai konsep pemikiran Machiavelli tersebut. Dan Realitas
dunia Celi yang kejam mengajarkan, dia harus lebih cepat dalam adu intrik,
dia harus lebih keji terhadap lawan, dia harus sangat ambisius dan tentu
saja dia harus bisa menjadikan politik sebagai parade ketololan. Dalam dunia
kekuasaan, Etika akan menjadi sesuatu yang sangat langka. Celi sangat
percaya dengan itu.
Sebenarnya Celi bukan lahir dari keluarga sembarangan, Kakeknya , A. Patoppoi adalah mantan Bupati di Grobogan. Sedangkan ayahnya, adalah
walikota Pare-Pare pada tahun 1968 dan kemudian meninggal karena jantung
tahun 1976. Jadi sebenarnya, untuk berkiprah dalam politik, Celi sebenarnya
sudah punya modal dari awal. Setidaknya dia tahu apa yang dikerjakan oleh
Kakek dan Bapaknya dalam dunia politik yang penuh intrik dan ambisius.
16 Jun 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar