24 Mei 2010

Pemimpin Mati Rasa: Sebuah Kado di Hari Kebangkitan Nasional

Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arif mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah atau yang dikenal dengan panggilan Buya Ma’arif -- satu dari sedikit Bapak Bangsa yang dimiliki Negeri yang sebenarnya kaya raya ini-- dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin beliau mengatakan bahwa para pemimpin di Negeri ini sudah mati rasa, sensifitas hati mereka sudah hilang dari sifat-sifat mulia kemanusiaanya, para elit lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dari pada memikirkan kepentingan rakyat.

Jika kita cermati, gelar itu sangat pantas disandang para pemimpin elit di Negeri ini, mulai pemimpin di tingkat atas maupun dibawah baik di eksekutif, yudikatif dan legeslatif sudah mati rasa. Mereka bekerja siang malam seolah-olah bekerja untuk kepentingan rakyat, pada kenyataannya mereka bekerja untuk membela kepentingan diri sendiri dan kelompoknya saja, lihat bagaimana peresmian “Sekretariat Gabungan Koalisasi Parpol Pendukung Pemerintah” sebuah wadah berkumpulnya partai koalisi yang di ketua Presiden SBY dan wakilnya adalah ketum Golkar Aburizal Bakrie ujung-ujungnya demi membela kepentingan golongan dan melanggengkan kekuasaan partai koalisi, hal-hal seperti ini justru hanya akan menumbuhkembangkan oligarki kekuasaan dan mengkebiri demokrasi. Lihat juga kasus Century, parpol pendukung pemerintah beserta partai koalisi membela kebijakan itu dengan berbagai cara, meski jelas-jelas kebijakan itu merugikan uang rakyat trilyunan rupiah, mereka sibuk mem-back up pemerintah agar Presiden SBY tidak di makzulkan (baca; di impeachment) ditengah jalan para Menteri hasil koalisipun merapatkan barisan agar tidak di resufle karena mereka adalah aset parpol penyumbang dana terbesar dan merupakan mesin ATM-nya parpol, tidak ada dalam benak mereka memikirkan untuk mengembalikan dana para nasabah padahal para nasabah sangat menderita sekali dengan kasus perampokan di bank Century tersebut. Lihat juga kasus Susno Duadji seorang pejabat polisi aktif dengan pangkat Komisaris Jenderal (Komjen) dengan bintang tiga di pundaknya itu saja bisa dipenjara tidak berdaya melawan arogansi kekuasaan, apalagi masyarakat secara umum seperti kita pasti akan lebih dibuat tidak berdaya lagi, bagaimana elit POLRI mempertontonkan kesewenang-wenangannya agar tidak terbongkar kebobrokan di institusinya, ini adalah pertunjukan arogansi siapapun yang mencoba mereformasi institusi tempat sarang korupsi akan dikeroyok berjama’ah oleh para koruptor tersebut terutama yang berada di comfort zone yaitu zona nyaman menikmati kekayaan hasil korupsi, masalah serupa di Negeri ini masih ratusan bahkan ribuan yang tidak bisa di nalar oleh akal sehat manusia.

Kesalahan mendasar yang diperlihatkan oleh para elit kita asekarang dalah mereka tidak pernah melibatkan sifat-sifat mulia Tuhan dalam setiap urusannya, di dalam rapat, dalam bekerja, dalam mengambil keputusan dan kebijakan mereka melupakannya bahkan seakan-akan sifat-safat ketuhanan itu sengaja dibuang jauh, Pancasila sebagai dasar Negara telah mencantumkan sifat-sifat Mulia Tuhan dalam sila pertama sesungguhnya hal itu sebuah anugerah besar warisan para pendiri Negara ini yang meletakan sifat Mulia Tuhan dalam sila pertama. Sayang, sila pertama hanya simbol belaka yang harus di dewa-dewakan tapi tidak dilaksanakan. Menurut saya, seseorang sebelum menjadi pemimpin sebaiknya dia harus dikarantina terlebih dahulu selama 1 bulan penuh misalnya, khusus hanya mempelajari sila pertama saja yaitu sila yang mengandung sifat-sifat mulia Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sebagai bekal tambahan mereka disuruh membaca dan mempelajari terlebih dahulu biografi para pemimpin pendahulunya agar terinspirasi dan mengambil suri tauladan sifat-sifat perjuangannya, seperti Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswanya, KH. Hasyim Asy’ari dengan organisasi kemasyarakatan NU & Laskar Hizbullahnya, KH Ahmad Dahlan dengan Gerakan Muhammadiyahnya, KH. Agus Salim, Moh. Yamin, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ( ayah dari Sri Sultan Hamengku Buwono X sekarang), dr Duewes Dekker, Budi Oetomo, dr. Wahidin, dr. Cipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansur, KH. Wahid Hasyim, , mereka semua adalah bangsawan yang melepaskan atributnya demi menjadi Bapak Bangsa yang tidak gila kekuasaan dan kemewahan, sayang sifat-sifat mulia para pemimpin pendahulu kita tidak ditiru oleh pemimpin setelahnya.

Kita ambil contoh sifat perjuangan dari satu pejuang saja dari beberapa pejuang Nasional diatas, yaitu sifat-sifat perjuangan Ki Hajar Dewantoro misalnya, saya memilih tokoh seperti beliau karena Ki Hajar Dewantoro dikenal sebagai Pahlawan Nasional dan Bapak Kebangkitan. Jika saja seorang calon pemimpin negeri ini meniru sifat-sifat beliau alangkah indahnya kepemimpinan mereka, karena hati nurani pikiran dan perasaan mereka akan hidup, kebijakan dan keputusannya pun bisa dipastikan akan berpihak pada rakyat. Jika di Barat ada “Teori Domain” nya Benjamin S. Bloom yang terkenal dengan pembentukan kognitif, afektif dan psikomotorik, maka di Indonesia terkenal dengan teorinya Ki Hajar Dewantoro --nama aslinya Raden Mas Suwardi Suryoningrat--yang terkenal dengan konsep “Tringa” yaitu ngerti (mengetahui) ngroso (memahami) dan nglakoni (melakukan). Artinya, tujuan orang hidup pada dasarnya adalah meningkatkan pengetahuannya tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan sensifitas yang ada disekitarnya, serta melaksanakan ajaran yang ia telah ketahui sebelumnya. Kemudian konsep Tringa ini berkembang menjadi konsep “Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil oleh pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat didalam dirinya. Yang kemudian konsep Trisakti Jiwa ini berkembang lagi menjadi konsep “Trihayu” yaitu, memayu hayuning sariro, memayu hayuning bongso, dan memayu hayuning bawono. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan juga bermanfaat bagi orang lain bagi manusia secara keseluruhan. Kemudian konsep Trihayu inilah yang mengilhami lahirnya konsep “Trilogi Kepemimpinan” yang merupakan bekal fardlu ‘ain bagi seseorang yang akan diberi amanat menjadi pimpinan di tingkat manapun, yaitu ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, maksudnya adalah ketika seseorang berada didepan maka ia harus mampu menjadi teladan yang baik, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang atau pihak-pihak yang dipimpinannya.menjadi berkembang lebih baik lagi.

Sebenarnya sifat-sifat mulia perjuangan dan konsep hidup seperti beliau ini yang seharusnya dimiliki oleh calon pemimpin bangsa ini, seperti kesahajaan, kedermawanan, ketauladanan dan kesederhanaan. Kesederhanaan bagi mereka pejuang pendahulu kita adalah lebih mulia lebih barokah dan tentu lebih merdeka, sebab tidak takut dicurigai, tidak takut kehilangan, tidak takut kecurian dst...hidup merdeka lahir batin itu jauh lebih sehat, dengan hidup sederhana kita akan lebih bisa merasakan penderitaan sesama, menumbuhkan rasa empati terhadap orang lain serta terhindar dari penyakit mati rasa, karena banyak orang secara lahir hidup gemerlap penuh kemewahan tapi sejatinya batinnya menderita sekali, orang jawa bilang lebih baik mikul dhawet rengeng-rengeng dari pada numpak montor brebes mili…

Semoga tulisan sederhana ini menjadi inspirasi bagi pembaca budiman yang akan menjadi pemimipin di masa depan, dan semoga di hari Kebangkitan Nasional ini menjadikan hari bangkitnya kembali hati nurani para pemimpin kita agar sadar diri dari kedzaliman yang telah diperbuatnya dan berbuat lagi untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan, bukan hari Kebangkitan Nasional ini malah menjadi hari “Kebangkrutan Nasional” … Allahu a’lam

13 Mei 2010

Hidup adalah Pilihan

Saya teringat dengan slogan mantan ketua umum PAN Bp. Soetrisno Bachir yang sangat terkenal "Hidup adalah Perbuatan". Tapi dalam komentar ini saya akan memaknai lain, bahwa hidup adalah sebuah pilihan, seseorang mau memilih untuk memeluk Islam, Kristen, Hindu, Budha dst...monggo kerso tidak ada larangan, itu hak masing-masing setiap orang, di sinilah fungsi dari firman Allah fastabiqul khoirot, berlomba-lomba mencari kebenaran. Jika seseorang akan mencari sebuah kebenaran dengan sungguh-sungguh, pasti Allah akan memberi dan membukakan jalan terang bagi dia, meski dia non muslim. Banyak dalam cerita orang muslim mati dalam keadaan tidak beriman alias kafir, dan sebaliknya orang kafir tapi mendekati ajal dia mati dalam keadaan muslim dan beriman, karena itu seharusnya seseorang dalam menjalani hidup didunia ini yang dicari hanyalah Ridlo Allah SWT. Dalam hal ini ada cerita seorang pendeta mati dalam keadaan husnul khotimah.

Ibrahim al-Khawas adalah seorang wali Allah yang terkenal keramat dan dimakbulkan segala doanya oleh Tuhan. Beliau pernah menceritakan suatu peristiwa yang menakjubkan yang pernah dialaminya tentang seorang pendeta. Beliau bercerita "Menurut kebiasaanku, aku keluar menziarahi Mekah tanpa kenderaan dan kafilah. Pada suatu kali, tiba-tiba aku tersesat jalan dan kemudian aku berhadapan dengan seorang rahib Nasrani (Pendeta Kristiani)." dia melihat aku dia pun berkata, "Wahai rahib Muslim, bolehkah aku bersahabat denganmu?"

Ibrahim segera menjawab, "Ya, aku tidak akan menghalangi kehendakmu itu."
Maka berjalanlah Ibrahim bersama dengannya selama tiga hari tiga malam tanpa meminta makanan sehingga rahib itu menyatakan rasa laparnya, dia berkata, "wahai rahib muslim, aku lapar sekali berilah aku sesuatu makanan yang ada padamu."
Mendengar permintaan rahib itu, lantas Ibrahim pun bermohon kepada Allah dengan berkata, "Wahai Tuhanku, Pemimpinku, Pemerintahku, janganlah engkau memalukan aku di hadapan seteru engkau ini…."

Belum pun habis Ibrahim berdoa, tiba-tiba turunlah setalam hidangan dari langit berisi dua keping roti, air minuman, daging masak dan tamar (kurma). Maka mereka pun makan dan minum bersama dengan lahap sekali.
Setelah itu keduanya meneruskan perjalanan. Sesudah tiga hari tiga malam Ibrahim berkata kepada rahib itu, "Hai rahib Nasrani, aku lapar sekali berilah aku sesuatu makanan yang ada padamu". Rahib itu menghadap kepada Allah, tiba-tiba turun setalam hidangan dari langit seperti yang diturunkan kepadaku dulu

Sambung Ibrahim lagi, "Tatkala aku melihat yang demikian, maka aku pun berkata kepada rahib itu… Demi Kemuliaan dan Ketinggian Allah SWT, tiadalah aku makan sehingga engkau memberitahukan (hal ini) kepadaku."
Jawab rahib itu, "Hai Ibrahim, tatkala aku bersahabat denganmu, maka jatuhlah sebuah kemakrifatanmu kepadaku, lalu aku memeluk agama yang kamu anut. Sesungguhnya aku telah membuang-buang waktu dalam kesesatan dan sekarang aku telah mendekati Allah dan berpegang kepada-Nya. Dengan kedekatanmu kepada Tuhan kamu, tiadalah Dia memalukan aku. Maka terjadilah kejadian yang engkau lihat sekarang ini. Aku telah mengucapkan seperti ucapanmu (kalimah syahadah)."

Maka sukacitalah Ibrahim setelah mendengar jawapan rahib itu. Kemudian keduanya pun meneruskan perjalanan sampai ke Mekah yang mulia. Setelah kami mengerjakan haji, maka kami tinggal dua tiga hari lagi di tanah suci itu. Suatu ketika, rahib itu tiada kelihatan olehku, lalu aku mencarinya di masjidil haram, tiba-tiba aku mendapati dia sedang bersembahyang di sisi Kaabah."
Setelah selesai rahib itu bersembahyang maka dia pun berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya telah hampir bertemu perjumpaanku dengan Allah SWT, maka peliharalah kamu akan persahabatan dan persaudaraanku denganmu."

Setelah dia berkata begitu, tiba-tiba dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia pulang ke Rahmatullah. Seterusnya Ibrahim menceritakan, "Maka aku merasa amat dukacita di atas kepergiannya itu. Aku segera menguruskan hal-hal pemandian, kafan dan pengebumiannya. Pada malam itu aku bermimpi melihat rahib itu dalam keadaan yang begitu cantik sekali tubuhnya dihiasi dengan pakaian sutera yang indah."

Melihatkan itu, Ibrahim pun terus bertanya, "Bukankah engkau ini sahabatku kemarin, apakah yang telah dilakukan oleh Allah terhadap engkau?"

Dia menjawab, "Aku berjumpa dengan Allah dengan dosa yang banyak, tetapi dimaafkan dan diampunkan-Nya semua itu kerana aku bersangka baik (khusnu dzanku) kepada-Nya dan Dia menjadikan aku seolah-olah bersahabat dengan engkau di dunia dan di akhirat."

Begitulah persahabatan diantara dua orang yang berpengetahuan tinggi dan memiliki kualitas keagamaan yang baik, akhirnya keduanya memperoleh hasil yang baik dan memuaskan pula. Walaupun salah seorang dahulunya beragama lain, tetapi berkat keikhlasan dan kebaktiannya kepada Allah, akhirnya Allah berkenan membuka pintu HidayahNya untuk dia, sehingga diakhir hayatnya dia memeluk Islam dan mati dalam kedaan Khusnul Khotimah.

Kita doakan semoga para pendeta yang telah berkenalan, bersahabat dan bersentuhan secara intelektual dengan orang-orang beriman segera diberi hidayah oleh Allah SWT sehingga akan muncul banyak cerita tentang rahib-rahib yang mati memeluk Islam dan mati khusnul khotimah seperti cerita diatas, semoga….

10 Mei 2010

العامية السودانية و اللغة العربية الفصحى : دراسة مقارنة

بسم الله الرحمن الرحيم
بين العامية السودانية و اللغة العربية الفصحى
(( و ما توفيقي إلا بالله ، عليه توكلت وإليه أنيب )) هود ، 88.
يطيب لي في هذا المقام أن أحدثكم عن وضع اللغة العربية في السودان ، مقارناً بين العربية الفصحى و لهجاتها العامية ومما يكسب هذا الموضوع أهمية هو أن هذه العاميات السودانية تعتبر نموذجاً للعاميات العربية الأخرى، وهي جميعاً جاء من الجزيرة العربية ، ولها ارتباط وثيق بالعربية الفصحى.
وذلك لأنه كانت هناك هجرات عربية قديمة، إلى البلاد العربية المعروفة اليوم ، وقد تمت هذه الهجرات، قبل الإسلام وبعده. و بالنسبة للسودان فقد تمّت الهجرات إليه من منافذ مختلفة، من الشرق عن طريق البحر الأحمر، ومن الشمال عن طريق وادي النيل (مصر)، كما نزح بعضها من الشمال الغربي ، أو الطريق الليبي الذي كان مصدرًا لكثير من الهجرات القديمة والحديثة ، وقد حمل العرب معهم عاداتهم و معتقداتهم، و لغاتهم ، قبل الإسلام و بعده.
و اللهجات العربية في مجموعها ـ ومن بينها العامية السوادانية ، التي نحن بصدد الحديث عنها مقارنة لها بالفصحى ـتختلف عن اللغة الفصحى فالعربية الفصحى، أو قُلْ لغة قريش، لم تنتشر بين عرب الجزيرة، إلا قبيل الإسلام، وكان كثير من العرب يتعلمها، ولما كان لقريش من السلطان الديني والتجاري، كان للغتهم الزعامة بين اللغات، و كان للقبائل الأخرى لهجاتها الدارجة تتكلم بها في حديثها اليومي ، وإذا ذهب العربي النابه إلى مكة ، و أراد أن يشعر، أو يخطب ، استعمل لغة قريش أهل البلد، و حماة الكعبة و أساطين المال والتجارة ، وهكذا كان دهاة العرب و أذكياؤهم، وإذا عاد الواحد منهم إلى بلده، تحدَّث بلهجته الدارجة.
وهذه اللهجات، لم تكن معربة، وهي تذكرنا باللهجات الدارجة التي يتحدثها العرب اليوم ، ومع ذلك نزل القرآن الكريم ، مراعياً لها مُتَخَيِّراً منها ، الشيء الذي تجلى في الترادف اللغوي ( اشتراك أكثر من لفظ في معنى واحد) فيه.
ولما ظهر الإسلام، نزحت القبائل باسمه إلى البلاد المفتوحة، حاملة معها لغة القرآن الكريم إلى جانب لهجاتهم الدارجة ، و من بينها السودان.
والعربية الفصحى ظلّت قروناً عدة بين عرب السودان لغة عبادة ، أما لغة الأدب و الحديث و الخطابة فهي اللهجة الدارجة وحدها و ساعد على ذلك قلة عدد المتعلمين وضعف الروابط القوية و العصبية والقبلية و صعوبة الاتصال بين الجماعات المتناثرة في أنحاء السودان الشاسعة و هكذا ظلت العربية الفصحى حبيسةً في بوادى السودان حتى أتيح لها أن تتنفس نسيم الحربية في عهد دولة الفُونْج التي ربطت بين أجزاء السودان لما كان لها من نفوذ قوي. ( 15000 – 18000) .
أما عن كيفية انتشار العربية بلهجاتها المختلفة في السودان فمن المعروف في قوانين اللغات أنه إذا نزح غزاة أو مهاجرون إلى بلد ما، اشتبكت لغتهم مع لغة أهل البلد في صراع قد يؤدي إلى انتصار إحدى اللغتين على الأخرى ، فتغدو لغة جميع السكان ، وقد يؤدى إلى بقاء إحداهما إلى جانب الأخرى وقتاً طويلاً على أن اللغات الغالبة لايتم لها الغلب عادة إلا بعد وقت طويل ، قد يستغرق عدة قرون على شريطة أن يكون أصحاب اللغات الغالبة عدد اً كافياً ، يمتزجون بأفراد السكان الأصليين ، ومما يساعد على ذلك أن تكون اللغتان المتنازعتان من مجموعة واحدة ، أو من مجوعتين متقاربتين .
و من ذلك أنه حينما تدفقت أمواج القبائل العربية على السودان الشمالي وجدوا اللغة النُُّوبِيّة سائدة بين السكان ، فوقع حينئذ نزاع بين العربية و النوبية ، و نتيجة لذلك احتلت العربية بعض منا طق النوبية، في حين، ظلت مناطق أخرى محتفظة بالنوبية إلى جانب العربية ، فأصبح لكل واحد منهم لغتان القومية يتكلمها مع بنى جلدته، والعربية يستخدمها مع سائرها الناطقين.
على ضوء قوانين علم اللغة أنه سيأتى وقت تتم فيه الغلبة للعربية في جميع هذه المناطق ، و مع ذلك فالنوبية في أيامنا هذه لاتزال تستعير من العربية ألفاظاً وتراكيب ، حتى أن حوالي ثلاثين في المائة من مجموع ألفاظها مستمدّ من العربية.
ومن اللغات العامية في السودان لغات القبائل ( البجة ) الذين يقيمون إلى تلال البحر الأحمر، من مصر إلى كسلا ( اسم مدينة ) أو مع اتساع رقعة هذه المجموعة
و انتشارها ، فإنها صارعت أيضاً العربية ، و مازلت العربية تشقّ طريقها ، وتضيِّق على هذه اللغة ، و من ذلك نجد أنهم يتكلمون في منازلهم ومجالسهم الخاصة بالبجاوية ( لغة البجا ) ، ولكنهم في المجالس العامة يتكلمون العربية.
وكثير من القبائل كانوا في تاريخ السودان يسعون إلى التكلم بالعربية إلى جانب لغتهم، فتؤثر كل منهما في الأخرى و بعض القبائل في دارفور ضاعت لغتهم الأصلية .
كما نجد أن العربية تسربت أيضاً إلى القبائل الزنجية في جنوب السودان ولقيت منهم ترحيباً وقبولاً، وأصبحت لغة مشتركة بين قبائلهم ، تُعّبر عن مصالحهم الخاصة ، و ما عربية جُوْبا عن الأذهان ببعيدة ، وكان سيكون لها انتشار أكبر لولا مزاحمة اللغة الإنجليزية لها ، ومحاولة جعلها لغة رسمية .
و اللهجات العربية في السودان أو العاميات السودانية كثيرة ومتنوعة بسبب انتشار القبائل المختلفة في أنحاء السودان الشاسعة، ومما يدلل على ذلك ظاهرة الترادف اللغوي، فأنت لاتجده في عامية واحدة ، فمثلاً بعض القبائل تستعمل اللفظ ( سار) بمعنى( مشى) فيقولون : (( سِرت إلى كذا وكذا، بينما تستعمل قبائل أخرى مرادفه ( يمشى ) و لا تسمع عندهم (سار). وكذلك: ( راعى ) بمعنى ( نظر) أو : ( شاف )، تجده في بعض العاميات ، إذ يقول أحدهم (راعِ) ( راعِ) : أي : انظر إليّ.
ويمكن أن نقارن فيما يلي ، بين هذه العاميات السودانية واللغة العربية الفصحى ، لنعرف أوجه الاتفاق و أوجه الاختلاف بينهما ، و ذلك حسب مستويات دراسة اللغة المختلفة ، وذلك كما يلي: فعلى المستوي الصوتي ، نجد أن الأصوات الأسنانية مفقودة في هذه العاميات و هي أصوات : الثاء و الذال والظاء ، فيقولون في : ثلج و ذهب وظُل :تلج و دهب أو ضَهَب و ضُل، كما أنها تفتقد صوت القاف الصوت اللهوي، فيقال في قال: كال وفي قام: كام،فيحولونه إلى صوت الـ ( g ) في اللغة الإنجليزية. وبعض القبائل في كُرْدُفان تجعل الحاء هاء فيقولون: الهمار بدلاً من الحمار، و يجعلون الغين خاءً، فيقولون: خنم في غنم. وبعض الاختلاف في الناحية الصوتية هذه يرجع إلى حذف الصوت فيحذفون اللام في ولد فتصير( وَد )، فيقولون: ( ود فلان ) بدلاً من ولد فلان.
أمّا من الناحية الصرفية ، فألفاظ العامية هي نفس ألفاظ الفصحى مع التحريف أحياناً في ضبط الكلمة. ففي التصغير مثلاً ،يقولون في تصغير ولد وجبل : وِلَيْد و جِبَيْل ، بدلاً من وُلَيْد و جُبَيْل ، و في الجمع يقولون في ولد و قلم : (( أولاد ، أقلام ))و قديماً وُلاد و قُلُمَّة. أمّا في النسب فيقولون : سوداني ، شمالي ، جنوبي ، جَعْلي، مثل الفصحى تماماً وأحياناً يزيدون ألِفاً قبل ياء النسب ، فيقولون شُلْكاوِي ودُنْقُلاوِي وفي المصدر تجد : عِلِم ، فهَم ، كتابة ، شُكُر.
أما عن بناء الجملة ( النحو ) فالكلام هنا أيضاً يتكون من اسم و فعل و حرف كما قال ابن مالك في الفصحى :
كلامنا لفظ مفيد كاستقم واسم وفعل ثم حرف الكلم
فتجد هنا في كلامهم الجملة الفعلية، والجملة الاسمية و المنصوبات الفصحى و الأدوات الأخرى مرتبة، على النحو الذي نعرفه في الفصحى، ففي المثل السوداني: ( مديت إيدي تحت الصريف جِبْتَ تراب الريف ) لانجد غرابة في الترتيب ، فلا يكلف نقلها إلى الفصحى تغييراً في ترتيب الجملة ، إذ تقول : ( مددت يدي تحت السياج ( الحاجز من الشجر أوالقصب) فجئت بتراب مصر)) (الريف) وهو مثل يضرب للمدعى الكاذب) وهذا يحدث أثناء القصص والأسمار- وتسمع الراوى السوداني، وهو يصف أحد الأبطال، فيقول (( وجَا رَاكِبْلُو فُوْق جَمَلَن أَصْهَب)) فلا تردد في الحكم بأن هذا تركيب عربي، يعنى أن هذا الفارس : جاء راكباً فوق جملٍ أصهب)).
أمّا من الناحية المعجمية الدلالية، فألفاظ العامية تحمل نفس معاني الفصحى، ويمكنك أن تردها إلى أصلها العربي الفصيح، مادة ومدلولاً، فالسوداني يقول ((حَرْدان)) أي : غضبان)) وهو لفظ عربي فصيح، كما يقولون ((دَنْقَسْ فُلان رأسه)) إذا طأطأها، وفي القاموس: الدنقسة : تطأطأ الرأس ذُلاّ وخضوعاً. ويقولون دعَس الشيء إذا ملأه، والدعس ملأ الوعاء، كما فى القاموس. ويقولون: ((فَدَر)) إذا رجع عن غضبه، وأهل البادية يقولون: فدر الفحل( الذكر من الحيوان ) ، إذا رجع عن الضِراب( تلقيح أنثاه ).
كما نجد هنا تطور مدلول الكلمة، فكلمة (( فقيه))،اصطبغ هنا بصيغة محلية فبعد أن كانت تدل على رجل الشرع في العربية الفصحى، حرفت إلى ((فكي)) و صارت تدل على صاحب التعاويذ والعزائم، أو الشخص المنقطع للعبادة ، و كذلك لفظ القرية، فهو في العربية الفصحى يدل على مكان تجمُّع السكَن مطلقاًً صغيراً أو كبيراً، انحصر هنا في المكان الصغير ، فيما يقابل المدينة ، وكذلك لفظ ( شاف ) فهو في العربية الفصحى بمعنى تطلَّع إلى الشيء المحبوب البعيد، و تمناه، ولكنها أصبحت هنا مجرد النظر إلى الشيء يعنى من مترادفات: (رأى ).
و فيما يلي نص من تعبير بالعامية السودانية : (( أُمْبارح ( البارح) مشيت السوق ، وأخدت حاجات كتيراً ، اشتريتْ لي سكّر و قماش ، وجيت راجع بالمواصلات)).
وفيما يلي أمثال بالعامية :
1- ييد على ييد تجدع بعيد.
2- الليد الوحده مابْتُصَفِّق . ( لا تُحْدث التصفيق).
و هذان المثلان في الحث على التعاون بين الناس ، و من هذه الأمثال أيضاً: (( ساعدوه في قبر أبوه دَسَّ المحافير )) . و المحافير آلات الحفر، و هذا مثل في من لم يتعاون مع الناس، و ليس فيه خير. و منها أيضاً : (( بليلة مباشِر ولا ذبيحة مكاشر )) . هذا في من يستقبل الضيف مبتسماً، طلق الوجه ، فإنه مع طعامه البسيط خير من ذلك الذي يقدم الكثير ، و هو عابس الوجه.
و بعد، يتساءل متعلمو العربية ، من غير العرب خاصة من غير المسلمين ، عن أي لغة عربية نتعلم ، من بين هذا الخِضَم الواسع من الفصحى و لهجاتها ؟ والإجابة هنا سهلة ، لأن الخلاف اليوم أصبح محسوماً على ألا مجال للعاميات ، لأنها فقيرة ، و تفرق بين العرب، فبصبر قليل يمكن لمتعلم الفصحى أن يتفاهم مع عامة الناس ، لأنهم يحاولون الاقتراب منه، والتحدث بالفصحى ، خاصة بعد انتشار التعليم ، و لا يهُمَّنّك إذا قالوا : (( صدق الله العظيم ، أم لم يقولوا )).
ومن الطرائف هنا أن أحد الخواجات ( رجل أوربي )، مكث في السودان زمناً طويلاً، ليتعلم العامية، وعند ما ظن أنه فرغ من هذا، قابله أحد العوام، وقال له: (شِكِيْش ياخَوَاجَة) يعنى : إلى أي جهة تذهب ، ولم يفهم الخواجة، و أخذ يردد متعجباً : شكييش ! شكييش ! ومن هنا يصعب تعلم العامية و حصرها، لأنها عاميات كثيرة.
المراجع
1- تاريخ الثقافة العربية في السودان، عبد المجيد عابدين ، ط. 2 ، 1967م.
2- وخصام و نقد ، الدكتور طه حسين ، ط. 4 ، 1967
3- من أصول اللهجات العربية في السودان ، عبد المجيد عابدين ، القاهرة ، 1966

3 Mei 2010

PENDIDIKAN ISLAM: MENJAWAB TANTANGAN MANUSIA DI ABAD 21

Catatan sederhana ini sengaja aku tulis intuk memenuhi permintaan seorang teman yang ada di Riyad, dia Pimred-nya bulettin "Pena" milik KBRI yang ada di Riyad Saudi Arabia, dan sekarang aku posting di blog-ku untuk berbagi pada pembaca yang budiman, semoga pencerahan ini ada manfaatnya.

A. Pendahuluan
Hari Senin 26 April kemarin ujian nasional (UNAS) tingkat SMA-MA diumumkan, suka cita dan duka nestapa mewarnai hasil pengumuman tersebut, siswa yang dinyatakan lulus meluapkan kegembiraannya dengan berbagai aksi, ada yang corat coret baju seragam, ada yang langsung sujud syukur, convoi sepeda motor, ada yang menangis histeris saking gembiranya dsb. Namun bagi siswa yang tidak lulus bak disambar petir bahkan seperti kiamat saja, mereka kebanyakan langsung pucat lemas, pingsan, stres bahkan ada yang bunuh diri karena tidak kuasa menahan kesedihan mendalam akibat dinyatakan tidak lulus unas.

Tahun ini ada 1,5 juta lebih siswa tingkat SMA-MA yang mengikuti ujian nasional, yang dinyatakan tidak lulus sekitar 154 ribu siswa atau 10,12 %. Siswa yang tidak lulus harus mengikuti unas ulangan yang akan dilaksanakan tanggal 10–14 Mei mendatang, dan sebanyak 267 sekolah siswanya tidak lulus sama sekali dari 16 ribu sekolah yang mengikuti unas (Jawa Pos, 27 April 2010).
Peristiwa tersebut tentu tidak kita inginkan bersama. Maka, guna menghindari hal demikian ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, lembaga pendidikan dan gurunya harus lebih serius, lebih giat dan lebih profesional dalam meningkatkan kualitas pendidikan dilingkungannya masing-masing, baik kualitas lembaga dalam memberikan pelayanan pendidikan, juga kualitas guru dalam peroses belajar mengajar harus selalu berkembang, kreatif, inovatif, profesional dan selalu memantau perkembangan demi perkembangan kualitas anak didiknya. Kedua, orang tua harus mulai sadar akan pentingnya pendidikan agama disamping pendidikan umum artinya anak harus dikenalkan dengan pendidikan agama (Islam) sejak usia dini sebagai kontrol, karena didalam unas hanya 6 matapelajaran yang diujikan yaitu matematika, fisika, biologi, kimia, bahasa inggris dan bahasa indonesia sedangkan pendidikan agama tidak ada, mungkin dianggap tidak penting. Ketiga, guru dan orang tua berkewajiban memantau dan memberikan perhatian yang lebih terhadap anak-anaknya dengan arahan dan belaian kasih sayang agar anak-anak merasa nyaman dan tentram dalam menghadapi berbagai macam ujian, tidak hanya ujian nasional saja akan tetapi ujian hidup sekalipun.


Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin memberi pencerahan tentang pentingnya pendidikan Islam sejak anak usia dini yang duduk berjajar berdampingan dengan ilmu pengetahuan lainnya agar mereka siap dalam menjawab tantangan yang teramat dahsyat di abad teknologi ini dengan memotret sisi-sisi kelam pendidikan di Indonesia sekarang.

B. Definisi Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Dalam Khazanah pemikiran Pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ahli bahasa dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam” dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pendidikan Islam itu setidak-setidaknya tercakup dalam 8 pengertian (Hasan, 1997), yaitu: al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al islamy (Pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam) dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami).

Dalam berbagai literatur Islam, para ahli pendidikan biasanya lebih menyoroti istilah-istilah tersebut dari aspek perbedaan antara tarbiyah dan ta’lim, istilah tarbiyah lebih cocok digunakan untuk pendidikan Islam (al-Nakhlawy, 1979). Berbeda dengan Jalal (1977) dari hasil kajiannya disimpulkan bahwa istilah ta’lim lebih luas jangkauannya dan lebih umum sifatnya dari pada tarbiyah. Dikalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan (tarbiyah) biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap, kepribadian, atau lebih mengarah pada aspek afektif, sementara pengajaran atau ta’lim lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau lebih menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Ada kajian lainnya yang berusaha membandingkan dua istilah tersebut dengan istilah ta’dib, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syed Naquib al-Attas dalam tulisannya bahwa istilah ta’dib lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam dan kurang setuju dengan istilah tarbiyah dan ta’lim. Namun istilah ta’dib yang ditawarkan oleh Naquib kurang popular dikalangan pemerhati pendidikan di Indonesia.

C. Potret Pendidikan di Indonesia
Jika kita amati, problem pendidikan yang ada di indonisia adalah; bentuk pendidikan yang bersifat parsial, pragmatis, dalam banyak hal justru bersifat paradox. Parsial, karena pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan dan melupakan pendidikan ahlak ,moral dan kesederhanaan jiwa hidup apa adanya. Hal tersebut menjadikan hasil dari pendidikan yang semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang trampil dan cerdas secara intelektual namun miskin dalam peringai, mental dan tingkah laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun rusak moral dan ahlaknya. Pendidikan yang demikian merupakan agen sementara yang hanya untuk melayani kepentingan dan kebutuhan hidup masyarakat industri. Karena masyarakatnya industry oriented maka yang laku adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan tehnologi maka yang laris adalah fakultas tekhnik informatika dan seterusnya.
Bersifat praktis dan pragmatis, hal tersebut tercermin dalam orientasi pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam banyak hal sekolah sekolah didirikan dengan konsep siap pakai, siap kerja, siap latih dst. Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran ukuran yang sederhana, berapa nilai rata-rata yang didapat, berapa lama kuliah dapat diselesaikan, IPK yang memuaskan, ijazah yang cepat didapat, dst. Kesuksesan sebuah lembaga pendidikan dilihat dari seberapa cepat anak didiknya diterima di lapangan kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Dan hal yang demikian bertolak belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam dimana dimensi terpenting dari hidup manusia adalah menjadikan orientasi hidupnyanya bermakna, bagaimana pendidikan dapat memberikan pengaruh dalam jiwa peserta didik untuk mengembangkan sifat-sifat mulia kemanusiaanya, manusia yang semakin bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, trampil dan lain sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak menyentuh aspek substansi yang hakiki dan inti, melainkan hanya pada kisaran kulit dan kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia. Sementara itu Anita Lie (CSIS, 2000) menyatakan pendidikan yang bersifat pragmatis akan menghasilkan pola-pola pikir sempit dan akan mencerabut orang dari akar budaya aslinya. Ketegangan dan kekerasan yang terjadi diberbagai daerah dalam menyikapi berbagai persoalan hidup termasuk hasil ujian nasional sekalipun ini menunjukan begitu sempitnya pola pikir mereka sehingga sifat-sifat mulia kemanusiaanya gampang hilang begitu saja.

Bersifat paradox, Pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di Indonesia kita semakin sulit menemukan seorang guru yang ideal, yang menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad Samir al-Munir dalam bukunya ketika menulis risalah untuk guru “kami meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan apa perkataan anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami. Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka".

Pendidikan sebagai proses peniruan dan pembiasaan harus dimulai dari guru itu sendiri, lalu ditularkan pada anak didiknya, guru harus membiasakan anak didiknya untuk sholat ke masjid setiap kali mendengar adzan, umpamanya. Karena pembiasaan adalah faktor terpenting untuk menciptakan moral dan akhlak. Anak yang terbiasa pergi ke masjid setiap kali mendengar adzan akan merasa tidak enak apabila ada adzan kemudian tidak pergi ke masjid, perasaan yang demikian akan terpatri dalam jiwa anak didik ketika ia telah terbiasa. Dan keterbiasaan itu perlu dilakukan dengan proses pembiasaan, jadi guru tidak hanya berfungsi mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tidak hanya mengejar nilai unas, tidak lagi mengejar gaji akan tetapi harus memperdulikan moral dan akhlaq anak didiknya.

Bila ditilik lebih lanjut sesungguhnya yang demikian adalah efek pemisahan antara Ilmu dan amal yang terjadi di negara sekuler. Bahwa bisa saja seseorang sangat intelek dan kaya keilmuan namun prilakunya tidak berkaitan dengan ilmu yang dimilikinya. Ilmu bagi mereka adalah value free (bebas nilai) tidak ada sangkut pautnya dengan prilaku sehari hari. Berbeda dengan konsep Islam, syarat seseorang disebut "alim" apabila ia memiliki sifat wara’, dalam Rijal al-Hadist umpamanya, seseorang baru diterima untuk mentransformasikan hadist (ilmu pengetahuan) jika ia dhobith, bisa dipercaya dan adil, kepintaran saja tidak cukup tapi ia juga harus berperingai baik, jika saja ia pernah berbohong sekali saja dalam hidupnya, maka hadits yang diriwayatkan dianggap tidak syah. Model pendidikan seperti ini seharusnya yang dikenalkan, dikembangkan dan dibiasakan terhadap anak didik kita agar dia tumbuh besar menjadi manusia yang menguasai IPTEK dan IMTAQ.

D. Penutup.
Masalah yang mendasar dari potret pendidikan yang ada di Indonesia adalah bahwa pendidikan menjadi alat mobilisasi social-ekonomi individu dan Negara. Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari ilmu untuk bekal dikemudian hari (akhirat). Muhammad abduh seorang teolog dari Mesir mengkritik hasil-hasil negative dari tujuan pendidikan yang pragmatis, karena hal itu dianggap melakukan pendangkalan agama, ia menyadari bahwa tujuan pendidikan bukan untuk mobilisasi social-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik. Dalam teori Bloom disebutkan bahwa setiap peserta didik dalam jiwanya harus terpenuhi ketiga unsur sekaligus, yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Afektif mengarah pada pembentukan karacter building, kognitif pada ranah intelectual building sedangkan psikomotorik mengarah pada ranah skill building, dan diantara ketiga aspek tersebut yang paling utama adalah aspek afektif yaitu pembentukan karakter, sedangkan tidak bisa dibentuk dengan sempurna kecuali dengan menanamkan pendidikan Islam sejak dini, karena hakekat sebuah ilmu pengetahuan endingnya adalah di moral atau akhlaqul karimah. Allahu A’lam bi as-Showab...