24 Mei 2010

Pemimpin Mati Rasa: Sebuah Kado di Hari Kebangkitan Nasional

Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arif mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah atau yang dikenal dengan panggilan Buya Ma’arif -- satu dari sedikit Bapak Bangsa yang dimiliki Negeri yang sebenarnya kaya raya ini-- dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin beliau mengatakan bahwa para pemimpin di Negeri ini sudah mati rasa, sensifitas hati mereka sudah hilang dari sifat-sifat mulia kemanusiaanya, para elit lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dari pada memikirkan kepentingan rakyat.

Jika kita cermati, gelar itu sangat pantas disandang para pemimpin elit di Negeri ini, mulai pemimpin di tingkat atas maupun dibawah baik di eksekutif, yudikatif dan legeslatif sudah mati rasa. Mereka bekerja siang malam seolah-olah bekerja untuk kepentingan rakyat, pada kenyataannya mereka bekerja untuk membela kepentingan diri sendiri dan kelompoknya saja, lihat bagaimana peresmian “Sekretariat Gabungan Koalisasi Parpol Pendukung Pemerintah” sebuah wadah berkumpulnya partai koalisi yang di ketua Presiden SBY dan wakilnya adalah ketum Golkar Aburizal Bakrie ujung-ujungnya demi membela kepentingan golongan dan melanggengkan kekuasaan partai koalisi, hal-hal seperti ini justru hanya akan menumbuhkembangkan oligarki kekuasaan dan mengkebiri demokrasi. Lihat juga kasus Century, parpol pendukung pemerintah beserta partai koalisi membela kebijakan itu dengan berbagai cara, meski jelas-jelas kebijakan itu merugikan uang rakyat trilyunan rupiah, mereka sibuk mem-back up pemerintah agar Presiden SBY tidak di makzulkan (baca; di impeachment) ditengah jalan para Menteri hasil koalisipun merapatkan barisan agar tidak di resufle karena mereka adalah aset parpol penyumbang dana terbesar dan merupakan mesin ATM-nya parpol, tidak ada dalam benak mereka memikirkan untuk mengembalikan dana para nasabah padahal para nasabah sangat menderita sekali dengan kasus perampokan di bank Century tersebut. Lihat juga kasus Susno Duadji seorang pejabat polisi aktif dengan pangkat Komisaris Jenderal (Komjen) dengan bintang tiga di pundaknya itu saja bisa dipenjara tidak berdaya melawan arogansi kekuasaan, apalagi masyarakat secara umum seperti kita pasti akan lebih dibuat tidak berdaya lagi, bagaimana elit POLRI mempertontonkan kesewenang-wenangannya agar tidak terbongkar kebobrokan di institusinya, ini adalah pertunjukan arogansi siapapun yang mencoba mereformasi institusi tempat sarang korupsi akan dikeroyok berjama’ah oleh para koruptor tersebut terutama yang berada di comfort zone yaitu zona nyaman menikmati kekayaan hasil korupsi, masalah serupa di Negeri ini masih ratusan bahkan ribuan yang tidak bisa di nalar oleh akal sehat manusia.

Kesalahan mendasar yang diperlihatkan oleh para elit kita asekarang dalah mereka tidak pernah melibatkan sifat-sifat mulia Tuhan dalam setiap urusannya, di dalam rapat, dalam bekerja, dalam mengambil keputusan dan kebijakan mereka melupakannya bahkan seakan-akan sifat-safat ketuhanan itu sengaja dibuang jauh, Pancasila sebagai dasar Negara telah mencantumkan sifat-sifat Mulia Tuhan dalam sila pertama sesungguhnya hal itu sebuah anugerah besar warisan para pendiri Negara ini yang meletakan sifat Mulia Tuhan dalam sila pertama. Sayang, sila pertama hanya simbol belaka yang harus di dewa-dewakan tapi tidak dilaksanakan. Menurut saya, seseorang sebelum menjadi pemimpin sebaiknya dia harus dikarantina terlebih dahulu selama 1 bulan penuh misalnya, khusus hanya mempelajari sila pertama saja yaitu sila yang mengandung sifat-sifat mulia Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sebagai bekal tambahan mereka disuruh membaca dan mempelajari terlebih dahulu biografi para pemimpin pendahulunya agar terinspirasi dan mengambil suri tauladan sifat-sifat perjuangannya, seperti Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswanya, KH. Hasyim Asy’ari dengan organisasi kemasyarakatan NU & Laskar Hizbullahnya, KH Ahmad Dahlan dengan Gerakan Muhammadiyahnya, KH. Agus Salim, Moh. Yamin, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ( ayah dari Sri Sultan Hamengku Buwono X sekarang), dr Duewes Dekker, Budi Oetomo, dr. Wahidin, dr. Cipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansur, KH. Wahid Hasyim, , mereka semua adalah bangsawan yang melepaskan atributnya demi menjadi Bapak Bangsa yang tidak gila kekuasaan dan kemewahan, sayang sifat-sifat mulia para pemimpin pendahulu kita tidak ditiru oleh pemimpin setelahnya.

Kita ambil contoh sifat perjuangan dari satu pejuang saja dari beberapa pejuang Nasional diatas, yaitu sifat-sifat perjuangan Ki Hajar Dewantoro misalnya, saya memilih tokoh seperti beliau karena Ki Hajar Dewantoro dikenal sebagai Pahlawan Nasional dan Bapak Kebangkitan. Jika saja seorang calon pemimpin negeri ini meniru sifat-sifat beliau alangkah indahnya kepemimpinan mereka, karena hati nurani pikiran dan perasaan mereka akan hidup, kebijakan dan keputusannya pun bisa dipastikan akan berpihak pada rakyat. Jika di Barat ada “Teori Domain” nya Benjamin S. Bloom yang terkenal dengan pembentukan kognitif, afektif dan psikomotorik, maka di Indonesia terkenal dengan teorinya Ki Hajar Dewantoro --nama aslinya Raden Mas Suwardi Suryoningrat--yang terkenal dengan konsep “Tringa” yaitu ngerti (mengetahui) ngroso (memahami) dan nglakoni (melakukan). Artinya, tujuan orang hidup pada dasarnya adalah meningkatkan pengetahuannya tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan sensifitas yang ada disekitarnya, serta melaksanakan ajaran yang ia telah ketahui sebelumnya. Kemudian konsep Tringa ini berkembang menjadi konsep “Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil oleh pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat didalam dirinya. Yang kemudian konsep Trisakti Jiwa ini berkembang lagi menjadi konsep “Trihayu” yaitu, memayu hayuning sariro, memayu hayuning bongso, dan memayu hayuning bawono. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan juga bermanfaat bagi orang lain bagi manusia secara keseluruhan. Kemudian konsep Trihayu inilah yang mengilhami lahirnya konsep “Trilogi Kepemimpinan” yang merupakan bekal fardlu ‘ain bagi seseorang yang akan diberi amanat menjadi pimpinan di tingkat manapun, yaitu ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, maksudnya adalah ketika seseorang berada didepan maka ia harus mampu menjadi teladan yang baik, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang atau pihak-pihak yang dipimpinannya.menjadi berkembang lebih baik lagi.

Sebenarnya sifat-sifat mulia perjuangan dan konsep hidup seperti beliau ini yang seharusnya dimiliki oleh calon pemimpin bangsa ini, seperti kesahajaan, kedermawanan, ketauladanan dan kesederhanaan. Kesederhanaan bagi mereka pejuang pendahulu kita adalah lebih mulia lebih barokah dan tentu lebih merdeka, sebab tidak takut dicurigai, tidak takut kehilangan, tidak takut kecurian dst...hidup merdeka lahir batin itu jauh lebih sehat, dengan hidup sederhana kita akan lebih bisa merasakan penderitaan sesama, menumbuhkan rasa empati terhadap orang lain serta terhindar dari penyakit mati rasa, karena banyak orang secara lahir hidup gemerlap penuh kemewahan tapi sejatinya batinnya menderita sekali, orang jawa bilang lebih baik mikul dhawet rengeng-rengeng dari pada numpak montor brebes mili…

Semoga tulisan sederhana ini menjadi inspirasi bagi pembaca budiman yang akan menjadi pemimipin di masa depan, dan semoga di hari Kebangkitan Nasional ini menjadikan hari bangkitnya kembali hati nurani para pemimpin kita agar sadar diri dari kedzaliman yang telah diperbuatnya dan berbuat lagi untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan, bukan hari Kebangkitan Nasional ini malah menjadi hari “Kebangkrutan Nasional” … Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar