Catatan sederhana ini sengaja aku tulis intuk memenuhi permintaan seorang teman yang ada di Riyad, dia Pimred-nya bulettin "Pena" milik KBRI yang ada di Riyad Saudi Arabia, dan sekarang aku posting di blog-ku untuk berbagi pada pembaca yang budiman, semoga pencerahan ini ada manfaatnya.
A. Pendahuluan
Hari Senin 26 April kemarin ujian nasional (UNAS) tingkat SMA-MA diumumkan, suka cita dan duka nestapa mewarnai hasil pengumuman tersebut, siswa yang dinyatakan lulus meluapkan kegembiraannya dengan berbagai aksi, ada yang corat coret baju seragam, ada yang langsung sujud syukur, convoi sepeda motor, ada yang menangis histeris saking gembiranya dsb. Namun bagi siswa yang tidak lulus bak disambar petir bahkan seperti kiamat saja, mereka kebanyakan langsung pucat lemas, pingsan, stres bahkan ada yang bunuh diri karena tidak kuasa menahan kesedihan mendalam akibat dinyatakan tidak lulus unas.
Tahun ini ada 1,5 juta lebih siswa tingkat SMA-MA yang mengikuti ujian nasional, yang dinyatakan tidak lulus sekitar 154 ribu siswa atau 10,12 %. Siswa yang tidak lulus harus mengikuti unas ulangan yang akan dilaksanakan tanggal 10–14 Mei mendatang, dan sebanyak 267 sekolah siswanya tidak lulus sama sekali dari 16 ribu sekolah yang mengikuti unas (Jawa Pos, 27 April 2010).
Peristiwa tersebut tentu tidak kita inginkan bersama. Maka, guna menghindari hal demikian ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, lembaga pendidikan dan gurunya harus lebih serius, lebih giat dan lebih profesional dalam meningkatkan kualitas pendidikan dilingkungannya masing-masing, baik kualitas lembaga dalam memberikan pelayanan pendidikan, juga kualitas guru dalam peroses belajar mengajar harus selalu berkembang, kreatif, inovatif, profesional dan selalu memantau perkembangan demi perkembangan kualitas anak didiknya. Kedua, orang tua harus mulai sadar akan pentingnya pendidikan agama disamping pendidikan umum artinya anak harus dikenalkan dengan pendidikan agama (Islam) sejak usia dini sebagai kontrol, karena didalam unas hanya 6 matapelajaran yang diujikan yaitu matematika, fisika, biologi, kimia, bahasa inggris dan bahasa indonesia sedangkan pendidikan agama tidak ada, mungkin dianggap tidak penting. Ketiga, guru dan orang tua berkewajiban memantau dan memberikan perhatian yang lebih terhadap anak-anaknya dengan arahan dan belaian kasih sayang agar anak-anak merasa nyaman dan tentram dalam menghadapi berbagai macam ujian, tidak hanya ujian nasional saja akan tetapi ujian hidup sekalipun.
Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin memberi pencerahan tentang pentingnya pendidikan Islam sejak anak usia dini yang duduk berjajar berdampingan dengan ilmu pengetahuan lainnya agar mereka siap dalam menjawab tantangan yang teramat dahsyat di abad teknologi ini dengan memotret sisi-sisi kelam pendidikan di Indonesia sekarang.
B. Definisi Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Dalam Khazanah pemikiran Pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ahli bahasa dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam” dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pendidikan Islam itu setidak-setidaknya tercakup dalam 8 pengertian (Hasan, 1997), yaitu: al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al islamy (Pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam) dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami).
Dalam berbagai literatur Islam, para ahli pendidikan biasanya lebih menyoroti istilah-istilah tersebut dari aspek perbedaan antara tarbiyah dan ta’lim, istilah tarbiyah lebih cocok digunakan untuk pendidikan Islam (al-Nakhlawy, 1979). Berbeda dengan Jalal (1977) dari hasil kajiannya disimpulkan bahwa istilah ta’lim lebih luas jangkauannya dan lebih umum sifatnya dari pada tarbiyah. Dikalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan (tarbiyah) biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap, kepribadian, atau lebih mengarah pada aspek afektif, sementara pengajaran atau ta’lim lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau lebih menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Ada kajian lainnya yang berusaha membandingkan dua istilah tersebut dengan istilah ta’dib, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syed Naquib al-Attas dalam tulisannya bahwa istilah ta’dib lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam dan kurang setuju dengan istilah tarbiyah dan ta’lim. Namun istilah ta’dib yang ditawarkan oleh Naquib kurang popular dikalangan pemerhati pendidikan di Indonesia.
C. Potret Pendidikan di Indonesia
Jika kita amati, problem pendidikan yang ada di indonisia adalah; bentuk pendidikan yang bersifat parsial, pragmatis, dalam banyak hal justru bersifat paradox. Parsial, karena pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan dan melupakan pendidikan ahlak ,moral dan kesederhanaan jiwa hidup apa adanya. Hal tersebut menjadikan hasil dari pendidikan yang semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang trampil dan cerdas secara intelektual namun miskin dalam peringai, mental dan tingkah laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun rusak moral dan ahlaknya. Pendidikan yang demikian merupakan agen sementara yang hanya untuk melayani kepentingan dan kebutuhan hidup masyarakat industri. Karena masyarakatnya industry oriented maka yang laku adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan tehnologi maka yang laris adalah fakultas tekhnik informatika dan seterusnya.
Bersifat praktis dan pragmatis, hal tersebut tercermin dalam orientasi pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam banyak hal sekolah sekolah didirikan dengan konsep siap pakai, siap kerja, siap latih dst. Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran ukuran yang sederhana, berapa nilai rata-rata yang didapat, berapa lama kuliah dapat diselesaikan, IPK yang memuaskan, ijazah yang cepat didapat, dst. Kesuksesan sebuah lembaga pendidikan dilihat dari seberapa cepat anak didiknya diterima di lapangan kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Dan hal yang demikian bertolak belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam dimana dimensi terpenting dari hidup manusia adalah menjadikan orientasi hidupnyanya bermakna, bagaimana pendidikan dapat memberikan pengaruh dalam jiwa peserta didik untuk mengembangkan sifat-sifat mulia kemanusiaanya, manusia yang semakin bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, trampil dan lain sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak menyentuh aspek substansi yang hakiki dan inti, melainkan hanya pada kisaran kulit dan kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia. Sementara itu Anita Lie (CSIS, 2000) menyatakan pendidikan yang bersifat pragmatis akan menghasilkan pola-pola pikir sempit dan akan mencerabut orang dari akar budaya aslinya. Ketegangan dan kekerasan yang terjadi diberbagai daerah dalam menyikapi berbagai persoalan hidup termasuk hasil ujian nasional sekalipun ini menunjukan begitu sempitnya pola pikir mereka sehingga sifat-sifat mulia kemanusiaanya gampang hilang begitu saja.
Bersifat paradox, Pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di Indonesia kita semakin sulit menemukan seorang guru yang ideal, yang menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad Samir al-Munir dalam bukunya ketika menulis risalah untuk guru “kami meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan apa perkataan anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami. Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka".
Pendidikan sebagai proses peniruan dan pembiasaan harus dimulai dari guru itu sendiri, lalu ditularkan pada anak didiknya, guru harus membiasakan anak didiknya untuk sholat ke masjid setiap kali mendengar adzan, umpamanya. Karena pembiasaan adalah faktor terpenting untuk menciptakan moral dan akhlak. Anak yang terbiasa pergi ke masjid setiap kali mendengar adzan akan merasa tidak enak apabila ada adzan kemudian tidak pergi ke masjid, perasaan yang demikian akan terpatri dalam jiwa anak didik ketika ia telah terbiasa. Dan keterbiasaan itu perlu dilakukan dengan proses pembiasaan, jadi guru tidak hanya berfungsi mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tidak hanya mengejar nilai unas, tidak lagi mengejar gaji akan tetapi harus memperdulikan moral dan akhlaq anak didiknya.
Bila ditilik lebih lanjut sesungguhnya yang demikian adalah efek pemisahan antara Ilmu dan amal yang terjadi di negara sekuler. Bahwa bisa saja seseorang sangat intelek dan kaya keilmuan namun prilakunya tidak berkaitan dengan ilmu yang dimilikinya. Ilmu bagi mereka adalah value free (bebas nilai) tidak ada sangkut pautnya dengan prilaku sehari hari. Berbeda dengan konsep Islam, syarat seseorang disebut "alim" apabila ia memiliki sifat wara’, dalam Rijal al-Hadist umpamanya, seseorang baru diterima untuk mentransformasikan hadist (ilmu pengetahuan) jika ia dhobith, bisa dipercaya dan adil, kepintaran saja tidak cukup tapi ia juga harus berperingai baik, jika saja ia pernah berbohong sekali saja dalam hidupnya, maka hadits yang diriwayatkan dianggap tidak syah. Model pendidikan seperti ini seharusnya yang dikenalkan, dikembangkan dan dibiasakan terhadap anak didik kita agar dia tumbuh besar menjadi manusia yang menguasai IPTEK dan IMTAQ.
D. Penutup.
Masalah yang mendasar dari potret pendidikan yang ada di Indonesia adalah bahwa pendidikan menjadi alat mobilisasi social-ekonomi individu dan Negara. Fenomena ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam, yaitu mencari ilmu untuk bekal dikemudian hari (akhirat). Muhammad abduh seorang teolog dari Mesir mengkritik hasil-hasil negative dari tujuan pendidikan yang pragmatis, karena hal itu dianggap melakukan pendangkalan agama, ia menyadari bahwa tujuan pendidikan bukan untuk mobilisasi social-ekonomi, melainkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik. Dalam teori Bloom disebutkan bahwa setiap peserta didik dalam jiwanya harus terpenuhi ketiga unsur sekaligus, yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Afektif mengarah pada pembentukan karacter building, kognitif pada ranah intelectual building sedangkan psikomotorik mengarah pada ranah skill building, dan diantara ketiga aspek tersebut yang paling utama adalah aspek afektif yaitu pembentukan karakter, sedangkan tidak bisa dibentuk dengan sempurna kecuali dengan menanamkan pendidikan Islam sejak dini, karena hakekat sebuah ilmu pengetahuan endingnya adalah di moral atau akhlaqul karimah. Allahu A’lam bi as-Showab...
3 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar